Rabu, September 15, 2010

Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia IV


BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN





4.1 Analisis Deskriptif

4.1.1 Perkembangan Kondisi Makroekonomi Indonesia

Perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter menunujukkan perkembangan yang cukup menarik. Pertumbuhan ekonomi Pada awal tahun 1995 tercatat 4.70% kemudian naik menjadi 7.82% pada tahun 1996 dan disusul dengan penurunan akibat krisis moneter pada tahun 1997 denganpertumbuhan PDB sebesar 4.70. Penurunan pertumbuhan PDB ini berturut-turut terjadi pada sampai tahun 1999 dengan penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 0.79%. Hal ini dapat dimaklumi karena dampak dari krisis moneter yang melanda Negara ini sangat signifikan. Banyaknya Perusahaan yang gulung tikar, bahkan industri perbankan sekalipun tidak luput dari terjangan krisis ini. Sehingga terjadi penurunan PDB yang signifikan. Hanya beberapa saja yang biasa bertahan yaitu pengusaha UKM yang sedikit mengandalkan perbankan dalam permodalannya, sehingga pengaruh krisis tidak terlalu besar pada sektor ini.

Sedangkan tahun 2005 perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya harga minyak dunia dan strukutr pengetatan kebijakan moneter global menyebabkan upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi makro ekjonomi menjadi kendala.

Ketergantungan kegiatan ekonomi domestik pada impor menyebabkan kondisi perekonomian secara struktural cukup rentan terhadap perubahan kondisi eksternal. Ekspansi ekonomi menjadi lebih lambat ketika kegiatan investasi terkendala oleh meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga BBM dan belum tuntasnya berbagai peraturan-peraturan di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur. Sementara itu, kegiatan konsumsi juga mengalami penurunan karena melemahnya daya beli mesyarakat dan mulai meningkatkan suku bunga . Di sisi lain, kinerja ekspor juga belum begitu menggembirakan seiring dengan kondisi permintaan global yang menurun dan melemahnya daya saing. Untuk keseluruhan tahun 2005, Bank Indonesia memperkirakan bahwa perekonomian dapat tumbuh sekitar 5,3% - 5,6%.

Dari stabilitas makro ekonomi, gejolak eksternal harga minyak dunia dan siklus pengetatan moneter global sangat berpengaruh pada kestabilan makroekonomi Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia telah mengakibatkan lonjakan kenaikan permintaaan valuta asing di pasar domestik. Kondisi ini diperberat oleh penyesuaian portofolio investor asing yang dengan cepat merespon perubahan suku bunga luar negeri dan masih terbatasnya penanaman modal asing . Dalam pasar volatilitas nilai rupiah yang cukup tajam. Depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga BBM pada akhirnya telah menyebabkab peningkatanb inflasi secara signifikan. Dengan perkembangan ini lahju inflasi pada tahun 2005 mencapai sekitar 18%. Sementara pada akhir inflasi inti mencapai 9,5%.




4.2 Pertumbuhan ekonomi Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis Moneter
Gejolak ekonomi yang terjadi membawa arus pertumbuhan ekonomi yang bergelombang, mengingat banyaknya fenomena yang terjadi dalam dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi di ukur dari Produk Domestik Bruto yang dihitung pertumbuhannya dari tahun ke tahun berdasarkan atas dasar harga konstan. Besar pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh besar PDB tiap tahunnya, tentu saja factor-faktor yang dapat mempengaruhi besar PDB sudah pasti akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun penelitian yaitu tahun 1989 kondisi stabilitas moneter pada saat itu sangat baik, hal ini ditandai dengan indicator ketiadaan ancaman devaluasi, cadangan devisa yang cukup tinggi tingkat inflasi yang rendah dan terkendali, suku bunga yang cenderung menurun, serta kurs rupiah yang relative stabil. Kondisi ini membawa perekonomian Indonesia kea rah yang sangat baik. Terlihat dengan besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu yaitu 7,46%. Pada tahun 1989/1990 upaya pemerintah untuk memperkecil angka pengangguran cukup tinggi, untuk itu pemerintah berhasil memobilisasi dana dalam rangka mendorong investasi, dengan perangkat kebijaksanaan deregulasi. ( Tony Prasetiantono, 2005:65).

Angka pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya dapat dilihat pada table berikut ini :

Tabel 4.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

TAHUN   LAJU    TAHUN    LAJU

1988        5.78      1999           0.79

1989        7.46      2000          4.92

1990        7.24      2001          3.45

1991        6.95      2002          4.38

1992        6.46      2003         4.78

1993        6.49       2004        5.03

1994        7.59        2005       5.69

1995          4.7       2006         5.5

1996       7.82        2007       6.28

1997        4.7         2008       6.06

1998     -13.13

Sumber : BPS ( Badan Pusat Statistik ), diolah

Dari data table di atas maka dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung naik pada saat sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia. Seperti yang terjadi pada awal tahuh 1988 yaitu pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,78 dan terus naik sampai 1990. Meski turun sebesar 0,92% pada tahun 1991 namun penurunan tersebut masih dapat dimaklumi karena pada tahun 1990-an pemerintah orde baru berusaha untuk mewujudkan repelita dan tujuan pembangunan di mana pemerintah masih mengahadapi banyak kendala dari masyarakat yang masih kurang siap menerima pembangunan, pengangguran dimana, sistem pendidikan dan fasilitas-fasilitas umum yang masih kurang memadai membuat smua terlihat kompleks. Pada tahun 80-an hingga 90-an masyarakat Indonesia mayoritas bekerja di sektor pertanian, oleh karena itu sektor pertanian menjadi penyumbang utama bagi PDB Indonesia pada masa itu. Seiring berjalannya waktu tren itu juga berubah, lambat laun sektor pertanian digeser oleh sektor-sektor lain. Walaupun pada jaman itu sektor pertanian lebih dominan namun sektor tersebut cukup konsisten dalam meningkatkan PDB Indonesia. Pemerintah saat itu sangat mendukung sektor pertanian dengan menggalakkan swasembada pangan dan masih banyak kebijakan-kebijakan yang pemerintah lakukan untuk mendukung sektor pertanian menjadi sektor yang unggulan.

Setelah perekonomian Indonesia pulih kembali kesehatannya sejak 1998, pertumbuhan mulai tampak lebih tingggi dari pertumbuhan dalam periode 1982-1987. Dampak periode 1983-1987 (masa lesu dan sulit) pertumbuhan PDB idak lebih dari 5% rata-rata per tahun , sedangkan pertumbuhan pada periode 1988-1991 adalah 9% rata-rata pertahun, suatu sektor pertumbuhan paling tinggi dalam dasawarsa 1990. Selanjutnya, pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya dalam dasawarsa 1990 adalah 7,3% rata-rata pertahun dalam periode 1991-1994, 8,2% untuk 1995 dan 7,8% untuk 1996, sedangkan pertumbuhan 1997 menjadi lebih rendah dari yang terjadi dalam 1996, yakni sebesar 7,2% karena terjadi depresi rupiah terhadap dollar AS yang amat dahsyat, sedangkan untuk 1998 pertumbuhan diperkirakan 4%. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadi ekspansi ekonomi dalam dasawrsa 1990 hal ini ditandai dengan ekspor komoditi yang di dalam perkembangannya terus menanjak. Menurut data BPS otal ekspor komoditi ( migas dan non migas) terus meningkat yakni US$ 52,2 milyar , tetapi terhambat pada tahun 1997, hal ini karena terjadinya krisis ekonomi yang melanda perekonomian Indonesia akibat gejolak kurs rupiah yang tidak dapat dihindari. Kesimpulannya, dasawarsa 1990 bagi perekonomian Indonesia adalah dasawarsa untuk mempertahankan pembangunan yang berkesinambungan terus (sustainable development) dan sekaligus sebaai dasawarsa di dalam menyongsong abad ke-21. Pembangunan yang berkesinambungan atau berkelanjutan diperlukan agar perekonomian Indonesia tidak terperosok pada resesi ekonomi yang mendalam seperti dialami pada dasawarsa 1980. Syarat keberhasilan sustainable development adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terciptanya pemerataan-keadilan dan lingkungan hidup yang lestari dan terlindungi.

Pada paruh kedua dasawarsa 1990 krisis ekonomi yang sangat dahsyat melanda perekonomian Indonesia sumbernya dibagi dalam 3 kelompok yaitu :

1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal dipandang sebagai pemicu terjadinya krisis ekonomi dalam negeri secara luas. Devaluasi Baht dalam bulan juli 1997 telah memicu kegoncangan kurs mata uang ASEAN dan Negara-negara Asia Timur. Indonesia terkena devaluasi terparah dari devaluasi Baht. Kegoncangan kurs mata uang di kawasan Asia Tenggara dan Timur adalah cermin krisis keuangan di Asia Timur terutema sebagai akibat pergeseran kapital internasional jangka pendek uang sulit dikendalikan kebijakan ekonomi masing-masing Negara di Asia Timur. Kurs mata uang yang terus-menerus melemah akan meyebabkan pelarian capital ( Capital Flight).





2. Faktor Internal

Melemahnya kurs rupiah terus menerus selama 18 bulan ( sejak juli 1997) telah membuka tabir kelemahan perekonomian Indonesia. Ganasnya tindakan KKN di Indonesia yang semakin tidak terkendali ,kegiatan perekonomian semakin tidak efisien di sektor public maupun di sektor swasta. Inefisiensi dimana-mana (pemerintah ,BUMN dan perusahaan swasta) menandakan adanya salah urus ( mismanagenment) disebagian besar dunia bisnis dan pemerintah.

Akibatnya utang luar negeri pemerintah maupun swasta semakin banyak bertumpuk dan terutama swasta semaki tidak mampu melunasi utang dan bunganya.

3. Krisis Kepercayaan

Krisis kepercayaan telah memperkuat krisis yang sudah ada. Akibatnya investor asing secara mendadak memindahkan kepitalnya ke luar negeridan modal dalam negeri juga banyak dilarikan ke luar negeri. Sebab apabila risiko di dalam negeri (kerawanan dan ketegangan) semakin tinggi, tidak mustahil arus modal yang tadinya banyak masuk, secara mendadak berbalik lari ke luar negeri (akibatnya akan memperlemah kurs rupiah). Iklim bisnis yang sehat dan kompetitif kyrang tampak pada rejim orde baru. Praktik diskriminasi dalam bisnis menyolok sekali. Banyak konsensi diberikan kepada gru-grup bisnis tertentu (termasuk bisnis keluarga) dan pemberiannya tidak transparan seperti konsesi kehutanan, telepon, dan infrastruktur lainnya. Proteksi khusus diberikan untuk melindungi industry mobil, pesawat terbang, kapal laut, petrokimia, dan lain sebagainya. Ketidakpercayaan masyarakat dan bahkan dendam rakyat kepada rejim orde baru yang tampak pada saat itu mengharuskan pemerintah segera melakukan reformasi hukum , politik, dan ekonomi. ( Sofyan, 2000:69).



Tabel 4.2 Indikator Perekonomian Indonesia Sejak Krisis 1998

Indikator                           1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Pertumbuhan PDB rii (%) - 13,1 0,8 4,9 3,8 4,3 4,9 5,1 5,7 5,5 6,3 6,0

PDB Nominal (miliar US$ ) 96 140 166 164 200 239 258 287 364 433 497

PDB per kapita

                                        ( US $) 977 694 742 697 984 1117 1191 1308 1641 1925 2183

Pertumbuhan Ekspor ( %) -8,6 -0,4 27,7 -9,3 5,0 8,4 12,0 19,7 17,7 13,2 7,0

Pertumbuhan impor ( % ) -34,4 -12,2 39,6 -7,6 15,1 10,9 27,8 24,0 5,8 22,0 12,0

Neraca Perdagangan

(milliarUS$)                     21,5 24,7 28,6 25,4 23,5 24,6 21,2 28,0 39,7 39,6 39,1

Transaksi Berjalan

(% PDB)                          4,3 4,1 4,8 4,2 3,9 3,4 1,1 0,1 3,0 2,5 1,6

Sumber : Perekonomian Indonesia (Tulus, 2000: 32)

Dari tabel di atas dapat kita lihat Indikator-indikator ekonomi makro yang mengalami perbaikan setelah masa krisis terlewati meskipun masih harus kerja keras lagi karena hasil ini masih belum memuaskan. Terlihat sekali bahwa pertumbuhan PDB riil pada tahun 1998 adalah negatif yaitu -13,1 namun hal ini dapat dimaklumi karena pada tahun sebelumnya yaitu tepatnya pertengahan 1997 Indonesia mendapat goncangan yang sangat dahsyat dalam perekonomiannya yang berdampak pada semua system yang di Indonesia. Namun selanjutnya pada tahun 1999 pertumbuhan naik menjadi 0,8%.





Gambar 4.1 Grafik Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan pada tahun 1999 masih sangat lambat karena pengaruh krisis masih sangat terasa pada saat itu, dimana sendi-sendi penggerak perekonomian tumbang dan perlu waktu untuk memulihkannya kembali. Namun demikian pada tahun 2002 kinerja ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.2 pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3 % dibanding 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode tahun 2004 mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS pada tahun 2004. Demikian juga pendapatan per kapita meningkat dengan presentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS dari 2002 hingga akhir 2004. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibanding -9,3% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP), yakni saldo ekspor (X) – impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB), sebaai presentase dari PDB mengalami penurunan.

Perkembangan perekonomian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor politik, pada bulan- bulan pertama pemerintahan SBY dan demokrasi, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depannya akan jauh lebih baik disbanding masa pemerintahan sebelumnya. Dan hal tersebut terbukti dengan adanya peningkatan pertumbuhan PDB dari tahun ke tahun hingga tahun 2008, diikuti dengan peningkatan indikator lainnya seperti pertumbuhan ekspor, impor, neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Namun pada tahun 2005 neraca perdagangan mengalami penurunan sebesar 1% pada tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar per barrel awal Agustus 2005 yang sangat tidak menguntungkan Indonesia. Tingginya impor BBM menguras cadangan devisa Indonesia apalagi dengan harga yang melambung tinggi akibatnya pemerintah membuat suatu keputusan yang sangat tidak populis yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar meningkat tajam.Tentu saja dampaknya sangat terasa oleh masyarakat kecil dan industry rumah tangga yang mengandalkan banyak BBM dalam produksinya dan kemudian Harga-harga barang menjadi mahal. Namun hal itu tidak membat perekonomian menjadi terpuruk, buktinya pada tahun 2006 dan 2007 TB mengalami kenaikan yaitu masing-masing 3,0 dan 2,5. Namun pada tahun 2008 dunia dilanda krisis global yang bermula dari Amerika Serikat yang berdampak pula bagi pereknomian Indonesia meskipun diprediksi idak separah krisis yang terjadi 10 tahun yang lalu, akibatnya pertumbuhan ekonomi turun sebesar 0,3% dan Transaksi berjalan turun sebesar -36% menjadi 1,6% dari 2,5% pada tahun 2007 (Tulus tambunan, 2009 :32).



4.3 Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia

Pada dasarnya dalam proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar. Hal tersebut disebabkan tanbungan dalam negeri yang rendah sehingga tidak memungkinkan dilakukannya investasi yang memadai, sehingga jalan alternative lainnya ialah dengan menarik dana atau pinjaman luar negeri.

Utang luar negeri (foreign debt) mulai berkembang di Indonesia sejak pemerintahan Indonesia menganut sistem devisa bebas. Sejak bulan agustus 1971, sistem devisa bebas mulai diterapkan di Indonesia. Pemerintah tidak lagi membatasi modal yang akan dibawa masuk atau ke luar negeri. Semua masyarakat boleh memakai mata uang lain baik di dalam maupun luar negeri, untuk keperluan eksport maupun individual. Utang luar negeri sudah ada sejak masa orde lama, pada saat itu perekonomian Indonesia masih jauh dari kesejateraan di samping itu, adanya kondisi politik yang sangat tidak stabil sehingga pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai perlawanan terhadap pemberontakan maupun pertahanan Negara. Sumber-sumber pendapatan nasional yang masih belum cukup untuk membiayai

























Gambar 4.2 Grafik Utang Luar Negeri Indonesia



Utang luar negeri ( foreign debt ) pada dasarnya memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga merupakan salah satu penyebab utama keterpurukan ekonomi Indonesia. Ini disebabkan karena semakin besarnya beban utang luar negeri Indonesia baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta asing harus yang ditanggung. Tanpa adanya keringanan utang (debt relief), terutama berupa penghapusan sebagian beban utang luar negeri, Indonesia diramalkan akan menjerumus ke dalam krisis yang lebih besar.

Dari gambar grafik 4.2 dapat kita lihat gelombang masuknya utang luar negeri baik utang pemerintah maupun swasta sebelum dan sesudah krisis moneter. Pada awal tahun 1988, gelombang utang swasta terlihat menurun sampai tahun 1990, selanjutnya naik secara perlahan mulai tahun 1991 hingga pada puncaknya tahun 1998 setelah terjadi krisis moneter. Utang luar negeri swasta menunjukkan gelombang yang sangat tinggi pada masa itu, hal ini karena keterpurukan perekonomian Indonesia yang tidak stabil. Perlahan utang luar negeri swasta menunjukkan penurunan grafik pada tahun 2000 dan stabil hingga tahun 2002. Mulai tahun 2003 sampai 2008 gelombang utang luar negeri mulai naik kembali, hal ini disebabkan karena pada peretengahan tahun 2004 terjadi kenaikan harga minyak dunia yang menguras devisa Negara untuk menutupi subsidi BBM, sehingga pemerintah mengambil langkah untuk melakukan pinjaman luar negeri. Kemudian pada tahun 2008 terjadi krisis global yang berawal dari bangkrutnya perusahaan raksasa Amerika yang berimbas pada semua Negara di dunia tidak terkecuali Indonesia, meski tidak terlalu signifikan tetapi krisis ini cukup menguras devisa Negara untuk menstabilkan nilai rupiah agar tetap stabil. Namun krisis yang dialami Indonesia pada tahun 2008 tidak separah krisis yang dialami pada tahun 1998, hal ini dikarenakan fundasi perekonomian Indonesia yang sudah lebih kokoh disbanding tahun 1998.

Pada pertengahan dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan utang luar negeri Indonesia meskipun terkadang naik secara perlahan. Namun demikian tren penurunan tersebut akhirnya berbalik menjadi suatu lonjakan tajam pada tahun 1997 yaitu sebesar 25.015 juta US dolar, hal ini disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Tetapi pada tahun 1999 terjadi penurunan sedikit lalu meningkat pada tahun berikutnya pada posisi utang pemerintah. Pada tahun 1997 utang pemerintah adalah 7.368 kemudian meningkat 73,3% pada tahun 2008 yaitu sebesar 12.767. Tahun 1998 terjadi kenaikan yang sangat drastic pada posisi utang pemerintah, hal ini disebabkan karena adanya upaya pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah dan perekonomian, sebab cadangan devisa Indonesia pada saat itu sangat tidak cukup untuk menopang perekonomian dan menstanilkan nilai rupiah apalagi untuk berjaga-jaga adanya kemungkinan dampak krisis yang lebih hebat. Penurunan dan perkembangan yang cukup stabil kembali terjadi setelah tahun 2002 seiring pemulihan perekonomian Indonesia.

Kemudian mulai tahun 1999 hingga 2004 utang pemerintah mengalami penurunan yaitu 4.750 juta US dolar pada tahun 1999, tahun 2000 4750 juta US dolar, tahun 2001turun menjadi 2.878 juta US dolar, 3.714 juta US dolar pada tahun 2002, 3.796 juta US dolar pada tahun 2003 dan 3.221 juta US dolar pada tahun 2004. Sedangkan utang luar negeri swasta mengalami gelombak naik turun selama periode itu bahkan yang paling mengejutkan adalah jumlah utang luar negeri swasta pada tahun 2004 yang meningkat drastic pada tahun sebelumnya yaitu sebesar 12.316 juta US dolar meningkat sebesar 47,7% dari tahun sebelumnya. Maka tidak heran jumlah utang luar negeri pada tahun 2004 juga meningkat drastic yaitu sebesar 15.537 juta US dolar. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004 yaitu pada masa awal pemerintahan reformasi terjadi lonjakan harga minyak yang sangat signifikan. Hal ini berdampak negative pada pengusaha-pengusaha yang mengandalkan BBM dalam usahanya. Pihak swasta harus menerima kenyataan naiknya harga BBM menuntut mereka harus mengeluarkan uang lebih untuk produksi barang dan jasanya, sehingga untuk menutupi itu pihak swasta melakukan penarikan pinjaman utang luar negeri agar proses produksi tetap berjalan, meski tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar akibat kenaikan tersebut.

Pada tahun 2008 terjadi kenaikan yang masih dapat di toleransi baik di sisi utang pemerintah dan utang swasta, yaitu masing-masing meningkat sebesar 66,2% dan 33,22% dengan jumlah utang luar negeri secara keseluruhan meningkat sebesar 46.102 juta US dolar. Kenaikan pada tahun 2008 diakibatkan karena gejolak krisis global yang melanda seluruh negara di dunia. Indonesia juga terkena dampak krisis global yang berawal dari kebangkrutan perusahaan yang bergerak di bidang bisnis perumahan GP Morgan yang membawa pengaruh terhadap perekonomian Indonesia, untuk itu pihak swasta dan pemerintah mengambil tindakan untuk menarik utang luar negeri untuk menstabilkan nilai rupiah yang ikut melemah pada tahun 2008.

Indonesia sebagai salah satu negara pengutang terbesar, masalah utang, baik peranannya dalam pembangunan, implikasi dan kemauan melakukan pembayaran bunga dan cicilan utang merupakan hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Dengan mengamati ketahanan ekonomi Indonesia saat ini, sangat sulit mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akan berkurang untuk setidak-tidaknya sepuluh tahun ke depan. Hal ini disebabkan karena masalah utang luar negeri yang dihadapi Indonesia telah mencapai tahap yang demikian kompleks sehinga sulit untuk diupayakan pemecahan dalam waktu yang defenitif.

Periode 1997 sampai 2001 misalnya, rasio pembayaran utang ( debt service ratio ) Indonesia sudah mencapai angka di atas 40 persen. Karena itu cara-cara konvensional, yaitu “gali lubang tutup lubang “ dalam mengatasi masalah utang luar negeri seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah hanya akan memperburk dan memperpanjang krisis ini. Sebenarnya, penjadwalan kembali utang ( debt rescheduling) lewat moratorium pun hanya akan menunda proses kebangkrutan dan bukan solusi jangka menengah apalagi jangka panjang atas masalah pembiayaan ekonomi Indonesia

Tabel 4.3 Beban Utang Luar Negeri Indonesia ( % )

Indikator                               1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

DSR                                       44.5 57.9 56.8 44.8 41.4 33.1 33.8

Posisi utang Luar Negeri/PDB 62.2 146.3 103.3 84.3 87.1 71.6 67.2

Sumber : Bank Indonesia, Laporan tahunan Bank Indonesia, berbagai penerbitan

Nisbah DSR, nisbah total utang terhadap ekspor dan total utang terhadap PDB pada tahun 2000 menunjukkan angka yang relative membaik dari tahun sebelumnya, yakni 103,3 persen di tahun 1999 menjadi 84,3 persen di tahun 2000. Namun demikian angkanya masih relative tinggi dan cukup berbahaya, karena telah jauh melebihi angka 10%-20%. Angka nisbah tersebut mencerminkan letergantungan perekonomian Indonesia yang tinggi terhadap utang luar negeri.

Ratio utang terhadap PDB dapat dilihat sebagai criteria untuk mengecek kesehatan keuangan suatu negara, dimana rasio di atas 50 persen menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri Indonesia sudah membebani lebih dari 50 persen pendapatan nasional. Beberapa penelitian bahkan menyatakan, kontribusi utang terhadap pertumbuhan ekonomi akan menjadi negatif apabila ratio utang terhadap PDB telah melampaui 50 persen. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila negara-negara sedang berkembang banyak yang member standar rasio utang terhadap PDB di atas 60 persen sebagai lampu kuning. Pemerintah Indonesia juga memiliki motivasi dan komitmen yang kuat untuk membawa rasio utang terhadap PDB di bawah 50 persen di taun 2006, mengingat institusi-institusi Indonesia sebagai negara berkembang belum kuat negara maju.

Jumlah utang luar negeri Indonesia yang besar pada akhirnya harus dibandingkan dengan asst-asset kekayaan yang ada di Indonesia. Selain asset BUMN, pemerintah masih memiliki kekayaan yang sangat besar dalam bentuk sumber daya alam yang belum di eksploitasi dengan baik. Dalam hal ini ketergantungan neraca pembayaran maupun APBN pada hasil sumber daya alam masih sangat tinggi sehingga seharusnya dapat mengurangi beban utang luar negeri Indonesia yang masih sangat besar.

4.4 Hasil Evaluasi dan Interpretasi

4.4.1 Hasil Uji Akar-akar Unit ( Unit Roots Test ) dan Derajat Integrasi

Dasar teoritis yang digunakan untuk menguji perilaku data atas data time series yaitu, variabel Utang luar negeri dan Pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah uji akar-akar unit (unit root test) dan uji derajat integrasi yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller, 1979 (Insukindro, 1993) pengujian valitas data ini harus dilakukan untuk menghindari model lancing atau bias (tidak efisien), uji akar-akar unit dan derajat integrasi ini menggunakan Augmented Dickey-Fuller ( ADF ) statistic untuk kurun waktu 1988-2008.



Tabel 4.4

Hasil Estimasi ADF dan Derajat Integrasi untuk Uji Akar Unit



Uji Akar Unit Derajat Integrasi

Variabel ADF Critical Value Stasioner

Pertumbuhan Ekonomi -4.994473 -3.886751*** I(2)

Utang Luar Negeri -4.641806 -3.857386*** I(0)

Keterangan : *** = Signifikan pada  = 1%

Sumber : Lampiran 2



Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada variabel pertumbuhan ekonomi diperoleh informasi bahwa angka ADF statistik yang cukup tinggi yakni sebesar -4.994473 . Nilai ini melewati nilai kritis pada tingkat signifikansi sebesar 1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data runtun waktu variabel pertumbuhan ekonomi telah stasioner dengan melakukan pembedaan kedua atau I(2) atau disebut juga dengan second difference.

Variabel utang luar negeri dapat diperoleh informasi bahwa angka ADF statistik yang cukup tinggi juga yakni sebesar -4.641806. Nilai ini melewati nilai kritis pada tingkat signifikansi sebesar 1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data runtun waktu variabel nilai tukar rupiahutang luar negeri telah stasioner dengan melakukan pembedaan kedua atau I(2) atau disebut juga dengan second difference.



4.4.2 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger

Untuk melihat bagaimana hubungan utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi akan diuji dengan menggunakan uji kausalitas Granger. Pengujian didasarkan pada uji F-statistik pada tingkat kepercayaan 1 – 10%. Jika nilai F-statistik adalah signifikan, maka hitpotesa nol yang menyatakan tidak ada hubungan dapat ditolak, begitu juga sebaliknya jika nilai F-statistik tidak signifikan maka hipotesa nol diterima yang artinya kedua variabel yaitu utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi saling mempengaruhi jika nilai f-statistik signifikan. Berikut hasil uji kausalitas Granger untuk utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi :

Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger

Pairwise Granger Causality Tests

Date: 03/03/10 Time: 16:32

Sample: 1988 2008

Lags: 1





Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability





Y does not Granger Cause ULN 20 11.8494 0.00311

ULN does not Granger Cause Y 3.16924 0.09292





Sumber : data diolah dengan eviews 5.1 ( lampiran 3)

Dari table hasil pengujian Granger di atas, dapat dilihat bahwa utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi saling berhubungan ( feed back ) ,Hal ini dapat dilihat dari nilai F-statistik dari pertumbuhan ekonomi signifikan pada α = 1% dan F-statistik utang luar negeri signifikan pada α = 5%. Keduanya secara statistik saling mempengaruhi satu sama lain, tetapi hal ini sudah sesuai dengan hipotesis yang ada yang menyebutkan utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan dua arah.

4.4.3 Hasil uji Kointegrasi

Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara utang luar negeri dengan Pertumbuhan ekonomi Indonesia. Uji ini dapat dilakukan dengan Uji Engle-Granger atau Uji Augmented Engle-Granger. Uji ini dilakukan dengan memanfaatkan Uji DF - ADF. Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pengujian AEG test ini adalah :

a Lakukan estimasi model.

b Dapatkan residual dari model tersebut

c Uji apakah residual tersebut sudah stasioner. Apabila residualnya telah stasioner, berarti ada kointegrasi

Berikut ini hasil Uji Kointegrasi dengan Uji Augmented Engle - Granger

Tabel 4.6 Hasil Estimasi Uji Kointegrasi

Uji Akar Unit Derajat Integrasi

Variabel ADF Critical Value Stasioner

RESID -2.940951 -2.692358*** I(1)

Keterangan: (***) = signifikan pada  = 1%

Sumber : Lampiran 4



Berdasarkan hasil ADF statistik pada perbedaan pertama ( first different) yang diperoleh untuk residual sebesar -2.940951, sedangkan nilai kritis untuk tingkat signifikansi 1 % sebesar -2.692358 dan untuk tingkat signifikansi 5% sebesar -1.960171 dan untuk tingkat signifikansi 10% sebesar -1.607051. Hasil ini menunjukkan nilai ADF yang lebih besar dari nilai kritisnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa residual telah stasioner, dengan kata lain bahwa adanya kointegrasi antara variabel independenutang (luar negeri ) terhadap variabel dependent (pertumbuhan ekonomi).

4.4.4 Hasil Uji OLS ( Ordinary Least Square )

Analisis pembahasan ini dimaksud untuk mengetahui korelasi antara kedua variabel, yaitu variabel dependen Pertumbuhan ekonomi ) dan variabel independen ( utang luar negeri dan variabel dummy ). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian di Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik ( BPS ) tahun 1988 – 2008, dan telah diolah menggunakan bantuan computer dengan menggunakan eviews 5.1 dapat dilihat hasilnya dari table dibawah.

Tabel 4.7 Hasil Estimasi OLS

LY = 8.538527 + 0.555901LX1 + 0.601808D

Standar Error = ( 0.112196 ) ( 0.117992 )

t-Statistik = ( 4.954748 ) *** ( 5.100413 )***

R2 = 0.794815 F-Statistik = 34.86289 DW-stat = 0.803011

Keterangan: (***) = signifikan pada  = 1%

Sumber : Lampiran 5



4.4.4 Interpretasi model

Model persamaan sebagai berikut :

LY = f ( LX1,D )…………………………………………………………( 1 )

Kemudian fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk multiple regression sebagai berikuty :

LY = α + β1 LogX1 + β2 D + µ....................................................................(2)

Keterangan :

Y = Pertumbuhan ekonomi yang diproxi dengan data PDB Indonesia atas dasar harga berlaku

X1 = Jumlah utang luar negeri Indonesia

D = Variable Dummy (Krisis moneter)

D = 1 = Tahun setelah krisis moneter (1988-2008)

D = 0 = Tahun sebelum krisis moneter (1988-1996)

β1,β2 = Koefisien regresi

µ = Tingkat kesalahan atau erorr term

Berdasarkan hasil regres dapat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut :\

LY = 8.538527 + 0.555901LX1 + 0.601808D

Dari hasil estimasi di atas dapat dijelaskan pengaruh variabel independen yaitu sebagai berikut :

1. Utang luar negeri memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah moneter. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien utang luar negeri yaitu sebesar 0.55. Artinya setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 1% maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.55%, ceteris paribus.

2. Krisis ekonomi ( variabel Dummy ) mempunyai hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien variabel dummy adalah 0.60. Artinya apabila terjadi krisis moneter maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.60%.

4.4.5 Test of Goodness of Fit

4.4.6 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersamaan dapat member penjelasan terhadap variabel dependen. Dari hasil regresi diperoleh nilai R2 = 0.79, yang artinya bahwa variabel pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen mampu dijelaskan oleh variabel independen yaitu utang luar negeri dan variabel dummy sebesar 0.79% dan sisanya 0.21% lagi dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

4.4.7 Uji t-statistik ( uji parsial)

Uji t-statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel denpenden dengan variabel lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut :

Ho : bi = 0 ( tidak signifikan )

Ha : bi ≠ 0 ( signifikan)

I. Variabel Utang Luar Negeri ( X1)

Dari hasil analisa diketahui t-hitung = 4.954748

α = 1% 1/2α = 0.005

Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t- tabel = 2.898















Gambar 4.3 Kurva uji t-statistik Utang luar negeri



Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa utang luar negeri signifikan pada α = 1% dengan t-hitung > t-tabel (4.954 > 2.898). Dengan demikian Ha diterima, artinya variabel utang luar negeri berpengaruh nyata dan signifikan terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 99%.

Hasil dari uji t di atas utang luar negeri berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sudah sesuai dengan hipotesis dan signifikan secara statistik. Artinya adalah apabila utang luar negeri mengalami peningkatan sebesar 1% maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 4.954%. Hal ini terjadi karena makin besar utang luar negeri semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia per tahunnya.

II. Variabel Dummy ( Krisis Moneter )

Dari hasil analisa diketahui t-hitung = 5.100413

α = 1% 1 / 2α = 0.005, Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t-tabel = 2.898

















Gambar 4.4 Kurva uji t-statistik variable Dummy (krisis moneter)

Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa variabel dummy ( krisis moneter ) signifikan pada α = 1% dengan t-hitung > t-tabel ( 5.100 > 2.898 ), maka Ha diterima artinya variabel dummy ( krisis moneter ) berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 99%.

Hasil dari uji t di atas variabel dummy berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tidak sesuai dengan hipotesis dan signifikan secara statistik. Sehingga dapat dinyatakan bahwa variabel dummy berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa jika terjadi krisis moneter maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Meskipun tidak sesuai dengan hipotesis, hal ini wajar karena pada dasarnya apabila terjadi krisis maka utang luar negeri akan meningkat maka meningkat pula lah pertumbuhan ekonomi, maka hasil analisis data ini masih dapat diterima meskipun tidak sesuai dengan hipotesis.

4.4.8 Uji Penyimpangan Klasik

4.4.8.1 Multikolinearitas

Pengujian ini bertujuan untuk mengukur hubungan antar variabel penjelas sehingga dapat dikatakan ada tidaknya gejala multikolinearitas di antara variabel penjelas. Untuk menguji ada tidaknya gejala multikolinearitas digunakan metode Klien’s Rule Thumb. Hasil regresi multikolinearitas, dapat dilihat pada table sebagai berikut :

Tabel 4.8 Hasil Regresi Uji Multikolinearity

Variabel LX1 DUMMY

LX1 1.000000 0.075562

DUMMY 0.075562 1.000000

Keterangan : 1. Data diolah

2.Sumber : program Eviews – metode OLS (lampiran 7)



R-squared hasil regres sebelumnya adalah R2 = 0.794815

1) R2 ( Log X1 dan Dummy ) = 0.794815

R2 ( Log X1 dan Dummy ) < R2 artinya tidak ada gejala multikolinearitas antara utang luar negeri dan variabel dummy ( krisis moneter ).

4.4.8.2 Autokorelasi (Serial correlation)

1. Hipotesis : Ho : ρ = 0, artinya tidak ada autokorelasi

Ho : ρ ≠ 0, artinya ada autokorelasi

1. DW-hitung = 0.803011

2. α = 5%, k = 3, n = 21

DWL = 1.046 DWU = 1.535

4 – DWL = 2.465 4 – DWU = 2.954

Kesimpulan yang diambil adalah DW< du. Hal ini berarti model estimasi bergejala autokorelasi.









Autocorelation













1.064 1.535 4 2.954 2.465

Gambar 4.5 Kurva Uji DW



Untuk mengobati persamaan agar tidak bergejala autokorelasi maka dilakukan cara-cara dengan mengubah model persamaan dan memasukkan variabel AR menjadi persamaan sebagai berikut:

LYt = α0 + αi LX1 + αiiD + µt

Di mana : µt = ρµt-1 + vt

Selanjutnya model persamaan menjadi :

LYt = α0 + αi LXit + αiiD + ρµt-1 + vt

Dimana : µt = error term yang menandung autokorelasi

ρ = koefisien autokorelasi

vt = error term yang memenuhi asumsi klasik

Dari persamaan di atas, maka didapat hasil estimasi sebagai berikut :

Tabel 4.9 Estimasi uji DW dengan variabel AR



Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:





F-statistic 5.072285 Probability 0.022037

Obs*R-squared 8.403187 Probability 0.014972





Keterangan : 1. Data diolah

2.Sumber : program Eviews – metode OLS (lampiran 8)



Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai Obs*R-Squared bernilai 8.4031 dengan probabilitas Chi-Squared adalah 0.014972. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai probabilitasnya yang cukup besar yaitu 0.05 atau 5%, sehingga kita tidak menolak hipotesa nol yaitu tidak ada autokorelasi.

Dapat juga melihat probabilitas chi-squares sebesar 0.014972 pada kelambanan 2 kita menerima hipotesa nul karena tingkat signifikasi α lebih besar dari 1% yaitu 0.0149%. Dari analisis diatas dapat disimpulkan model tidak mengandung autokorelasi.

Maka, dari hasil regres diatas hasil estimasi untuk ketiga variabel tersebut adalah :

Tabel 4.10 Hasil Estimasi OLS dengan Variabel AR

LYt = 362153.6 - 0.015359LX1 - 0.021576D

Standar Error = (0.065266) (0.077376)

t-Statistik = (-0.235331)* (-0.278850)*

R2 = 0.420159 F-Statistik = 2.028913 DW-stat = 1.747149

Keterangan: (*) = signifikan pada  = 10%

Sumber : Lampiran8



Berdasarkan hasil regres dapat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut :

LYt = 362153.6 - 0.015359LX1 - 0.021576D

Dari hasil estimasi di atas dapat dijelaskan pengaruh variabel independen yaitu sebagai berikut :

3. Utang luar negeri memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah moneter. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien utang luar negeri yaitu sebesar 0.015. Artinya setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 1% maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.015%, ceteris paribus.

4. Krisis ekonomi ( variabel Dummy ) mempunyai hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien variabel dummy adalah 0.0215. Artinya apabila terjadi krisis moneter maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.021%.

4.4.9 Test of Goodness of Fit Model Baru

4.4.10 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersamaan dapat member penjelasan terhadap variabel dependen. Dari hasil regresi diperoleh nilai R2 = 0.42, yang artinya bahwa variabel pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen mampu dijelaskan oleh variabel independen yaitu utang luar negeri dan variabel dummy sebesar 0.42% dan sisanya 0.58% lagi dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

4.4.11Uji t-statistik ( uji parsial)

Variabel Utang Luar Negeri ( X1)

Dari hasil analisa diketahui t-hitung = (-0.235331)

α = 1% 1/2α = 0.005

Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t-tabel = -1.333

















Gambar 4.6 Kurva uji t-statistik Utang luar negeri Model Baru

Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa utang luar negeri signifikan pada α = 10% dengan t-hitung > t-tabel (-0.235 > -1.333). Dengan demikian Ho diterima, artinya variabel utang luar negeri tidak berpengaruh nyata dan tidak signifikan terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 90%.

Hasil dari uji t di atas utang luar negeri berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi sudah sesuai dengan hipotesis dan tidak signifikan secara statistik. Artinya adalah apabila utang luar negeri mengalami peningkatan sebesar 1% maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 4.954%. Hal ini terjadi karena makin besar utang luar negeri semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia per tahunnya.

III. Variabel Dummy ( Krisis Moneter )

Dari hasil analisa diketahui t-hitung = -0.278850

α = 1% 1 / 2α = 0.005, Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t-tabel = -1.333

















Gambar 4.7 Kurva uji t-statistik Variable Dummy (krisis moneter) Model Baru

Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa variabel dummy ( krisis moneter ) signifikan pada α = 10% dengan t-hitung > t-tabel (-0.278 > -1.333), maka Ho diterima artinya variabel dummy ( krisis moneter ) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 90%.

Hasil dari uji t di atas variabel dummy berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tidak sesuai dengan hipotesis dan signifikan secara statistik. Sehingga dapat dinyatakan bahwa variabel dummy berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa jika terjadi krisis moneter maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.



Berdasarkan hasil analisis di atas, penulis tetap berpegang pada hasil regres yang pertama yaitu utang luar negeri berpengaruh positif dan signifikan pada α = 1% terhadap utang luar negeri, karena hal tersebut sudah sesuai dengan hipotesis makalah ini.

1 komentar:

  1. boleh minta file yang asli nya ngk,,,
    kalau bisa tolong kirimkan ke email ku ea,,ridoricardo@ymail.com
    thanks...

    BalasHapus